Jakarta – Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengakui, Pinangki Sirna Malasari, terpidana kasus pengurusan fatwa bebas untuk Joko Tjandra, masih mendekam di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung dan belum dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan. Alasannya, karena problem teknis dan administrasi.
Kejaksaan berjanji proses eksekusi segera dilaksanakan.Untuk diketahui, pada pertengahan Juni 2021, majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengeluarkan putusan terhadap banding Pinangki. Dalam putusan tersebut, hukuman Pinangki dikurangi dari 10 tahun menjadi 4 tahun.
Hingga batas waktu pengajuan kasasi pada 5 Juli, jaksa penuntut umum ataupun Pinangki memutuskan untuk tidak mengambil upaya hukum kasasi. Dengan demikian, putusan PT DKI atas Pinangki berkekuatan hukum tetap.
Namun, hingga saat ini, putusan tersebut belum dieksekusi oleh kejaksaan sehingga oleh kalangan masyarakat sipil dianggap sebagai perlakuan yang diskriminatif.
Terhadap hal tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso, ketika dihubungi, Minggu (1/8/2021), mengatakan, masih belum dieksekusinya putusan terhadap Pinangki yang telah berkekuatan hukum tetap bukan karena ada kendala khusus.
“Sebenarnya tidak ada apa-apa. Hanya masalah teknis dan administratif di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat,” kata Riono.
Menurut Riono, eksekusi tidak segera dilakukan karena jaksa penuntut umum masih menanti kepastian langkah hukum Pinangki terhadap putusan majelis banding tersebut, yakni melakukan upaya hukum kasasi atau tidak.
Dengan tidak adanya upaya hukum dari Pinangki, Riono memastikan jaksa akan segera mengeksekusi putusan tersebut. ”Segera dilaksanakan,” ujar Riono.
Soal belum dieksekusinya Pinangki pertama kali diungkapkan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Ia mengatakan, hingga saat ini Pinangki masih ditahan di Rutan Kejagung dan belum dipindah ke lembaga pemasyarakatan (lapas), seperti ke Lapas Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur. Boyamin mengecam hal tersebut karena memperlihatkan ketidakadilan.
“Ini jelas tidak adil dan merupakan diskriminasi atas napi-napi wanita lainnya. Telah terjadi disparitas atau perbedaan dalam penegakan hukum,” kata Boyamin.
Oleh karena itu, Boyamin meminta agar jaksa segera melakukan eksekusi terhadap Pinangki dengan memindahkan Pinangki ke lapas. Jika eksekusi tidak segera dilakukan, Boyamin berencana melaporkannya ke Komisi Kejaksaan, Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejagung, dan Komisi III DPR.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, ketika sebuah perkara masih dalam proses banding dan kasasi, sebuah putusan belum berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, eksekusi atas sebuah putusan belum bisa dilakukan kejaksaan.
Namun, ketika sudah berkekuatan hukum tetap, seharusnya terpidana segera dieksekusi. Bahkan, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) tidak dapat menghentikan upaya eksekusi.
”Memang, tidak ada jangka waktu. Jadi, sebenarnya begitu putusan atas Pinangki berkekuatan hukum tetap, sejak saat itulah putusan harus dilaksanakan kejaksaan. Bahwa belum dilaksanakan, saya kira ini soal kejaksaan yang belum melaksanakan,” tutup Fickar.