Jakarta – Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI 2022 dari semula Rp37.749 atau 0,85 persen menjadi Rp225.667 atau 5,1 persen. Aroma politis menyeruak. Aksi Anies dinilai sebagian kalangan demi mendulang simpati massa buruh setahun jelang ia lengser.
Atas revisi itu UMP DKI tahun depan menjadi Rp4.641.854 dari rencana awal Rp4.453.935. Buruh riang bergembira, meski memicu respons keras dari kalangan pengusaha.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati berpendapat keputusan itu lebih bernuansa politik. Dia mafhum Anies mengambil kebijakan populis dalam setahun terakhir masa jabatannya. Tujuannya: tiket pencalonan presiden 2024.
Menurut Wasis, suara buruh masih dianggap cukup proporsional, dan kerap masuk kelompok swing voters atau pemilih yang mengambang. Artinya, mereka tak memiliki preferensi satu sosok yang dijagokan di setiap momen politik elektoral.
Suara mereka, sama dengan kelompok pemilih mengambang lain seperti pelajar maupun profesional. Menurut Wasis, mereka memiliki militansi, dan kerap loyal kepada figur pemimpin yang mengakomodasi kepentingan mereka.
“AB [Anies Baswedan] berharap massa buruh ini akan menjadi alat barter dengan parpol agar memperoleh tiket nominasi pada pemilu 2024,” kata Wasis, Rabu (21/12/2021).
Lewat menaikkan UMP, lanjut Wasis, Anies sedang coba membangun citra sebagai pemimpin populis. Ia tengah berupaya merangkul kelompok akar rumput dengan mengatasnamakan kesetaraan. Cara itu wajar belaka, kata Wasis. Sebab, kendati sejumlah kelompok buruh kini terafiliasi partai, mereka dinilai belum memiliki sosok yang dapat mengerek suara.
Namun di sisi lain, keputusan tersebut bukan tanpa risiko. Wasis menjelaskan, meski di satu sisi itu bisa membangun citra Anies sebagai pemimpin inklusif dan merakyat, di sisi lain keputusan menaikkan UMP masih cukup rentan di kalangan pengusaha. Bukan saja secara ekonomi, namun juga politis. Menurut Wasis, revisi UMP akan rentan di kalangan pengusaha sebagai penyokong finansial dalam pencalonan figur politik.